Bagaimana China Menanggapi Kebijakan Tarif Baru Trump dan Memberikan Ultimatum kepada Sekutu Amerika Serikat

China merespons kebijakan tarif terbaru Donald Trump dengan langkah diplomatik tegas, disertai peringatan keras bagi negara-negara sekutu Amerika.

Jul 15, 2025 - 15:57
 0  0
Bagaimana China Menanggapi Kebijakan Tarif Baru Trump dan Memberikan Ultimatum kepada Sekutu Amerika Serikat

Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China tampaknya belum mereda, meski dunia kini memasuki era pemulihan ekonomi global yang menuntut kerja sama lintas negara. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali memantik percikan dengan mengumumkan rencana kenaikan tarif impor yang menyasar berbagai produk China. Kebijakan ini sontak menimbulkan gelombang reaksi, tak hanya dari Beijing tetapi juga dari negara-negara lain yang merasa terhimpit di antara dua raksasa ekonomi dunia ini.

Bagi China, kebijakan tarif tambahan dari Amerika bukanlah hal baru. Hubungan dagang kedua negara memang sudah lama diwarnai ketegangan, terutama sejak era kepemimpinan Trump pertama. Kala itu, Trump menggulirkan kebijakan proteksionisme dengan dalih melindungi industri dalam negeri dari gempuran produk murah asal China. Strategi tarif tinggi ini sempat memicu penurunan volume perdagangan bilateral dan memaksa banyak perusahaan memindahkan rantai pasok mereka ke negara lain.

Kini, di tengah upaya pemulihan pasca pandemi dan perlambatan ekonomi global, langkah Trump memicu reaksi keras dari Beijing. Pemerintah China menilai kebijakan tarif tambahan ini hanya akan memperburuk situasi, merusak iklim perdagangan internasional, dan menghambat pertumbuhan ekonomi yang baru saja mulai stabil.

Beijing menegaskan bahwa mereka tidak akan tinggal diam melihat kebijakan yang dianggap diskriminatif tersebut. Retorika keras pun dilontarkan oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri China, yang menyebut Amerika Serikat terus-menerus mempolitisasi perdagangan demi kepentingan politik dalam negeri. China menilai strategi ini hanya akan merugikan masyarakat global karena menciptakan ketidakpastian dan memicu gejolak pasar.

Sebagai bentuk perlawanan, China pun mempertimbangkan langkah balasan. Dalam pernyataannya, Beijing membuka kemungkinan menerapkan tarif serupa pada produk-produk asal Amerika Serikat. Selain itu, China juga memperingatkan negara-negara lain yang mendukung kebijakan proteksionisme Washington agar bersiap menanggung risiko ekonomi. Ultimatum ini ditujukan untuk menekan sekutu-sekutu Amerika Serikat agar berpikir ulang sebelum memihak terlalu jauh.

Beberapa analis menilai langkah China ini bukan sekadar gertakan. Sebagai negara dengan jaringan dagang global yang luas, China memiliki instrumen untuk memengaruhi rantai pasok di berbagai belahan dunia. Misalnya, China bisa memperketat ekspor bahan baku penting seperti logam tanah jarang yang digunakan dalam pembuatan barang teknologi tinggi. Langkah semacam ini bukan tidak mungkin diterapkan, mengingat China pernah melakukan hal serupa di masa lalu ketika berkonflik dengan Jepang.

Selain kebijakan tarif balasan, Beijing juga berupaya memperkuat hubungan dagang dengan negara-negara mitra di luar orbit Amerika. Kesepakatan perdagangan dengan negara-negara ASEAN, Eropa, dan Afrika terus diperluas agar perekonomian China tidak bergantung pada pasar Amerika Serikat saja. Dalam beberapa tahun terakhir, China juga mendorong penggunaan yuan dalam transaksi internasional, sebagai salah satu cara untuk mengurangi dominasi dolar AS.

Bagi negara-negara sekutu Amerika Serikat, posisi ini memang serba dilematis. Di satu sisi, mereka memiliki hubungan strategis dengan Washington, baik di bidang militer maupun politik. Namun, di sisi lain, banyak di antara mereka memiliki ketergantungan ekonomi yang besar terhadap pasar China. Negara-negara Eropa Barat, misalnya, selama ini menjadi mitra dagang penting bagi China, terutama dalam hal ekspor barang mewah, otomotif, dan teknologi hijau.

Jika ketegangan dagang semakin membesar, negara-negara tersebut terpaksa harus menimbang ulang kebijakan luar negeri dan perdagangan mereka. Beberapa negara bahkan sudah mulai membuka jalur komunikasi dengan Beijing untuk mencari titik temu agar tidak terjebak dalam pusaran konflik dagang dua negara besar ini.

Sementara itu, dari dalam negeri Amerika Serikat, kebijakan tarif tambahan Trump menuai pro dan kontra. Pendukungnya berpendapat langkah ini perlu diambil untuk membendung praktik dagang China yang dianggap tidak adil, seperti subsidi industri dan transfer teknologi paksa. Namun, kalangan pebisnis Amerika justru mengkhawatirkan dampak domino berupa kenaikan harga barang impor dan potensi penurunan daya saing produk AS di pasar global.

Pelaku industri otomotif dan elektronik di Amerika sudah beberapa kali menyampaikan protes atas kebijakan tarif tinggi karena membuat biaya produksi mereka melonjak. Apalagi, banyak suku cadang penting yang masih dipasok dari pabrik di China. Jika bea masuk makin tinggi, maka harga jual produk di pasar domestik bisa ikut naik, menekan daya beli masyarakat.

China pun tampaknya memahami betul dilema ini. Dengan ultimatum yang disampaikan, Beijing ingin menunjukkan bahwa kebijakan proteksionisme tidak hanya akan merugikan China, tetapi juga memukul rantai pasok global yang pada akhirnya berdampak pada industri dan konsumen di Amerika Serikat sendiri.

Dinamika ini memperlihatkan bagaimana rumitnya hubungan dagang antara dua raksasa ekonomi dunia. Ketika Amerika Serikat berusaha melindungi industrinya melalui kebijakan tarif, China merespons dengan membuka jalur kerja sama baru dan menggunakan kekuatan diplomasi ekonomi. Dunia pun seolah diseret dalam permainan tarik-menarik kepentingan yang tidak hanya berdampak pada perdagangan barang, tetapi juga memengaruhi stabilitas pasar keuangan, nilai tukar mata uang, hingga harga komoditas global.

Bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya, situasi ini harus diantisipasi dengan kebijakan luar negeri yang cermat. Sebagai mitra dagang utama baik bagi Amerika Serikat maupun China, Indonesia berupaya menjaga hubungan baik dengan kedua belah pihak. Indonesia juga berperan aktif dalam forum multilateral seperti ASEAN dan G20 untuk mendorong penyelesaian sengketa dagang melalui jalur negosiasi.

Tantangan terbesar bagi negara berkembang adalah menahan dampak tidak langsung berupa fluktuasi nilai tukar, penurunan permintaan ekspor, dan potensi gangguan rantai pasok. Jika ketegangan dagang berlarut-larut, arus investasi asing juga bisa terhambat, membuat negara berkembang harus memutar otak mencari strategi diversifikasi pasar baru.

Di tengah gejolak ini, banyak pihak berharap jalur diplomasi masih menjadi pilihan utama. Beberapa pakar ekonomi berpendapat bahwa eskalasi perang dagang justru akan merugikan semua pihak dalam jangka panjang. Negara-negara besar seharusnya memfokuskan energi pada kerja sama pembangunan teknologi hijau, pengembangan rantai pasok berkelanjutan, serta penguatan pasar kerja pasca pandemi.

Namun, jika melihat tren beberapa tahun terakhir, tampaknya rivalitas dagang dan teknologi antara Amerika Serikat dan China tidak akan surut dalam waktu dekat. Kedua negara saling berlomba menjadi pemain dominan di sektor strategis seperti kendaraan listrik, kecerdasan buatan, hingga energi terbarukan.

Persaingan inilah yang memicu kebijakan proteksionisme baru dan serangkaian ultimatum yang kini menjadi sorotan dunia. Bagi China, ultimatum kepada sekutu Amerika adalah pesan bahwa Beijing tidak segan menggunakan kekuatan ekonominya untuk menekan pihak-pihak yang dianggap merugikan kepentingan nasional mereka.

Seiring dunia bergerak menuju era transisi energi dan digitalisasi, pertarungan kepentingan dagang ini akan terus bertransformasi dalam bentuk kebijakan baru. Negara-negara penonton di tengah konflik pun dituntut untuk cermat membaca arah angin, menyiapkan langkah mitigasi, serta memperkuat kerja sama regional agar tidak terjebak dalam persaingan dua raksasa ekonomi yang saling tarik ulur kepentingan.

What's Your Reaction?

Like Like 0
Dislike Dislike 0
Love Love 0
Funny Funny 0
Angry Angry 0
Sad Sad 0
Wow Wow 0